Bangga Indonesia, Jakarta – Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun mirisnya jumlah petani di Indonesia terus menurun.
Semakin banyak petani yang memilih alih profesi menunjukkan bahwa profesi tersebut semakin tak diminati di Indonesia, sehingga membuat jumlah petani terus menurun dan menimbulkan ancaman punahnya profesi petani.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto menilai perlu ada upaya serius untuk mendorong generasi muda agar mau bekerja ke sektor pertanian, karena saat ini tenaga kerja pertanian didominasi oleh orang-orang usia lanjut.
Berdasarkan kelompok umur, sebesar 17,29 persen atau 6,61 juta tenaga kerja pertanian berusia kurang dari 30 tahun, 29,15 persen atau 11,14 juta orang berusia 30-44 tahun, 32,39 persen atau 12,38 juta orang berusia antara 45-59 tahun, dan 21,7 persen atau 8,09 juta orang berusia di atas 60 tahun. Sedangkan menurut pendidikan yang ditamatkan, 65,23 persen berpendidikan SD ke bawah.
“Ini perlu menjadi perhatian, di mana sektor pertanian didominasi oleh SDM yang berpendidikan rendah dengan usia yang sudah lanjut, sehingga ke depan kita perlu mencari cara bagaimana generasi muda bisa masuk ke sektor pertanian,” kata Suhariyanto.
Ancaman punahnya profesi petani, bukanlah isapan jempol belaka.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkap data mencengangkan terkait hal ini.
Bappenas bahkan memperkirakan pada 2063 tak ada lagi profesi petani seiring dengan turunnya pekerja di sektor pertanian.
Pada tahun 1976 proporsi pekerja Indonesia di sektor pertanian mencapai 65,8 persen. Namun, pada 2019 turun signifikan menjadi hanya 28 persen.
Dari data itu saja sudah cukup menggambarkan bahwa Indonesia tak lagi didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian bercocok tanam. Petani bukan lagi profesi mayoritas di Indonesia, atau kalah saing dibanding profesi lainnya.
“Apabila menggunakan tren ini dalam perhitungan linear, tentu saja hasilnya cukup mencengangkan, mungkin di 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal. Mudah-mudahan hal ini bisa kita lawan,” kata Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia.
Faktanya, para pekerja sektor pertanian telah beralih profesi ke sektor lain. Tercermin dari sektor jasa yang proporsi pada 1976 sebesar 23,57 persen menjadi sebesar 48,91 persen di 2019. Begitu pula dengan proporsi pekerja di sektor industri yang meningkat menjadi 22,45 persen di 2019 dari sebelumnya 8,86 persen di tahun 1976.
Melansir penelitian dari LIPI tahun 2019, menurunnya minat generasi muda terhadap profesi petani karena generasi muda melihat ada citra negatif tentang pertanian. Profesi petani dipandang tidak menguntungkan. Di sisi lain, pemuda desa saat ini juga lebih tertarik mencari pekerjaan di kota dan tidak kembali lagi ke desa.
Kurangnya minat generasi muda menjadi petani disebabkan beberapa hal, di antaranya karena penghasilan petani dinilai tak cukup besar untuk memenuhi kesejahteraan keluarga, pekerjaan dilakukan di alam terbuka di bawah terik sinar matahari dan lahan pertanian yang digarap tergolong pekerjaan yang dapat membuat pakaian dan tubuh petani menjadi kotor.
Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu terobosan baru berupa inovasi disruptif atau disruptive innovation yakni inovasi yang bisa menggantikan pasar yang lama dengan ide bisnis segar serta dapat menyesuaikan kebutuhan konsumen.
Dengan demikian terobosan baru ini dapat terjadi perubahan mindset dari petani subsisten menjadi berorientasi bisnis. Tidak lagi menjadi obyek subsidi, dan secara kelembagaan berstandar korporasi.
Secara konseptual, korporasi petani merupakan gabungan perseorangan petani maupun kelompok tani dalam bentuk koperasi dan atau beserta pihak swasta/BUMD/BUMN yang berkolaborasi menjadi pemegang saham di sebuah perusahaan/perseroan.
Strategi bisnis dengan disruptive innovation yang diimplementasikan pada korporasi petani diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan pada akhirnya profesi petani menjadi lebih menarik serta memberikan nilai tambah bagi generasi milenial.
Strategi pertama, selain didorong untuk memiliki pola pikir atau mindset mandiri menjadi pengusaha pertanian atau agropreneur, petani mulai diajak memanfaatkan teknologi modern berupa aplikasi digital super dengan berbagai fasilitas layanan yang bisa digunakan dalam proses bisnis pertanian mulai pembiayaan saprodi, proses budi daya, pengolahan hingga pemasaran modern dari hulu ke hilir secara terintegrasi melalui pemanfaatan internet of thing (IoT).
Wakaf saham korporasi
Strategi kedua, gabungan perseorangan petani maupun kelompok tani dalam wadah berbadan hukum koperasi, di mana koperasi menjadi pemegang saham di sebuah perusahaan. Ini menunjukkan bahwa koperasi akan dapat memaksimalkan bisnisnya karena terdapat sekumpulan petani dalam jumlah besar melalui koperasi yang dapat mendirikan dan memiliki perseroan (PT).
Kemudian langkah berikutnya agar dapat meminimalisasi risiko penguasaan korporasi oleh tengkulak yang ingin memanfaatkan ketentuan “satu anggota satu suara” dalam rapat anggota koperasi dengan cara mendesak sebagian besar anggota berupa iming-iming nominal uang tertentu untuk mau menjual saham korporasi yang dimiliki oleh koperasi. Ditambah ada kekhawatiran terhadap penguasaan koperasi oleh oknum pengurus yang tak bertanggung jawab.
Wakaf saham korporasi menjadi disruptive innovation strategi bisnis baru selanjutnya yang bisa dipilih untuk diimplementasikan secara efektif dalam bisnis.
Lalu apa sebenarnya yang menjadi keunggulan skema wakaf saham korporasi sehingga membuat generasi milenial akan tertarik berprofesi sebagai petani?
Kunci keunggulannya adalah pada bagian ikrar wakaf dan penunjukkan anggota aktif sebagai penerima manfaat wakaf. Pada saat ketentuan bisnis telah disebutkan dalam ikraf wakaf, maka selanjutnya ketentuan bisnis tersebut akan berlaku sepanjang masa bagi nazhir sebagai pengelola harta wakaf untuk wajib melaksanakan ketentuan tersebut.
Siapa pun pengurus koperasi serta berapapun pertambahan jumlah anggotanya tidak akan dapat menjual saham korporasi yang telah di wakafkan. Dan tak kalah menarik adalah adanya dampak positif bagi para petani sebagai anggota koperasi berupa kepastian keberlangsungan menjalankan sistem bisnis yang aman dan berkelanjutan (sustainable).
Skema Salamplus
Salamplus adalah transaksi jual beli pesan barang dengan lima syarat dan satu klausula yang disepakati bersama. Lima syarat tersebut yaitu, penentuan kualitas, kuantitas, harga barang, waktu pengambilan barang serta penyerahan uang secara kontan yang dilakukan saat transaksi terjadi.
Sedangkan klausula yang disepakati yaitu penunjukan pihak ketiga untuk mengelola uang yang telah dibayarkan dengan peruntukan sebagai modal kerja penjual sekaligus menjadi pengawas terhadap kinerja penjual untuk memastikan proses produksi dapat terlaksana dengan baik, sehingga barang yang dipesan sesuai spesifikasi yang disepakati dan dapat diserahkan tepat waktu.
Setelah barang yang memenuhi spesifikasi diserahkan kepada pembeli, maka sisa uang yang telah digunakan untuk biaya produksi, kemudian oleh pihak ketiga diserahkan sepenuhnya kepada penjual.
Keunggulan konsep disruptive innovation strategi bisnis berikutnya yang bernama salamplus ini diyakini akan membuat milenial semakin tergoda dan akhirnya jatuh hati untuk segera berprofesi sebagai petani.
Apa pasalnya? Sebab skema salamplus akan mampu menyelesaikan permasalahan klasik yang disebabkan oleh tengkulak berupa permodalan saprodi dengan skema ijon yang dilakukan di awal masa tanam, atau penebasan gabah siap panen dengan cara menyodorkan “paksa” sejumlah uang meski boleh jadi beberapa waktu sebelumnya sudah terjadi transaksi jual beli dan penyerahan uang dengan pihak lain.
Cara penyelesaiannya adalah pihak ketiga yang ditunjuk sebagai pengelola uang dalam skema salamplus membeli gabah panen dengan harga jauh di atas penetapan harga tertinggi yang ditetapkan Pemerintah.
Mengapa bisa dilakukan? Sebab secara alamiah, seorang penjual komoditas apapun pasti akan memilih pembeli yang dapat membayar dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Disadari ataupun tidak oleh petani sebagai penjual gabah, dalam skema korporasi petani dimana petani adalah pemilik bisnis korporasi, sesungguhnya status petani bukan lagi sebagai penjual gabah saja, melainkan telah naik kelas menjadi penjual beras.
Selisih antara harga tertinggi yang ditetapkan Pemerintah dengan harga jual gabah dalam salamplus, dapat ditutup dari net profit korporasi dalam penjualan beras dan atau keuntungan korporasi yang bersumber dari unit bisnis lainnya.
Inisiatif pengembangan korporasi petani bertujuan untuk menjadikan petani berdaulat dalam keseluruhan rantai produksi usaha tani. Petani tidak hanya berdaulat dalam pengelolaan on farm tetapi juga pengolahan hasil usaha tani atau off farm hingga distribusi dan pemasarannya.
Itu berarti, para petani perlu melakukan konsolidasi rantai nilai komoditas yang diusahakan dengan membangun lembaga ekonomi yang mencakup seluruh simpul rantai nilai mulai dari pengadaan prasarana dan sarana, panen, penanganan pascapanen, pengolahan hasil dan pemasaran hingga ke konsumen akhir.
Insya Allah, tiga disruptive innovation strategi bisnis yang telah dikemukakan tersebut akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Salah satu multi efek penting yang diharapkan adalah terjadinya kenaikan jumlah profesi petani pada generasi muda secara signifikan, yang akhirnya kedaulatan pangan yang dicapai kelak dapat menjadikan perekonomian nasional agar terus bertumbuh dan berkelanjutan.(ant)
*) Baratadewa Sakti P ST, CPMM, AWP, adalah Praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Bisnis UMKM