Bangga Indonesia, Semarang – Magelang – Tradisi menyantap dan berkirim ketupat pada Hari Lebaran 2021 tetap hidup dalam masyarakat, meskipun saat ini situasi masih pandemi COVID-19, kata seorang pengasuh Pondok Pesantren Payaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Kholilul Rohman Ahmad (Gus Kholil).
“Tradisi ketupat atau kupat Lebaran tetap hidup di masyarakat hingga saat ini,” ujarnya di Magelang, Rabu.
Dalam beberapa hari terakhir, berbagai pasar tradisional di Kabupaten dan Kota Magelang bermunculan para pedagang kelongsong ketupat untuk memenuhi permintaan masyarakat dalam merayakan Idul Fitri 1442 Hijriah.
Mereka umumnya para pembuat kelongsong ketupat, datang dari desa-desa di daerah itu ke berbagai pasar, setiap menjelang Lebaran, untuk menjualnya kepada masyarakat. Ketupat menjadi makanan khas saat warga merayakan Lebaran. Selain untuk disantap bersama keluarga, ketupat juga dikirim kepada warga lainnya, saudara, tetangga, atau handaitolan.
Menurut dia, dengan telah terlihat para penjual kelongsong ketupat di pasar-pasar maupun di perumahan beberapa hari terakhir sebelum Lebaran, hal itu menjadi pertanda bahwa tradisi menyantap ketupat saat Lebaran masih tetap hidup.
Masyarakat, kata dia, merayakan Lebaran dengan memasak ketupat untuk disantap bersama keluarga dan dikirimkan kepada sanak saudara, tetangga, dan handai taulan.
Ia mengemukakan ketupat Lebaran sebagai simbol permohonan maaf antarsesama. Pada Hari Lebaran, pembuat ketupat itu memohon maaf kepada orang yang diberi ketupat atau dijamu ketupat saat silaturahim atau halalbihalal.
“Maknanya adalah mohon maaf atas ‘kalepatan’ (kesalahan),” ucap Gus Kholil yang juga Ketua Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang itu.
Secara simbolik, ucapnya, ketupat Lebaran juga ungkapan syukur manusia kepada Sang Pencipta karena pembuatan ketupat menggunaan janur sebagai bungkusnya, yang artinya memanfaatkan karunia Allah SWT. Ketupat dibuat dengan bahan utama nasi dibungkus dengan anyaman janur, kemudian dikukus atau direbus. Ketupat disantap dengan kuah santan, gulai, atau opor.
“Daun kelapa ini kan apa adanya, orisinal, bukan buatan pabrik. Jadi pembuat kupat ini ingin menyampaikan rasa syukurnya atas pemberian Allah SWT, berupa daun kelapa atau janur,” katanya.
Menurut dia, semangat manusia saling bermaaf-maafan di Hari Lebaran juga bentuk pasrah kepada Allah SWT setelah umat Muslim menjalani dengan khusyuk ibadah puasa Ramadhan.
“‘Lepat’ (salah) maknanya pasrah. Pasrah dalam konteks ‘lepat’ ini adalah pembuat ketupat atau umat Muslim sudah memasrahkan dirinya dengan melaksanakan puasa sebulan penuh. Melaksanakan perintah-Nya puasa di Bulan Ramadhan, sehingga di akhir bulan ia memasrahkan dirinya dengan simbol memanfaatkan janur pemberian-Nya. Apa adanya. Bukan daun plastik buatan pabrik,” kata dia.
Hasil sidang isbat untuk menentukan 1 Syawal 1442 Hijriah diselenggarakan Kementerian Agama di Jakarta, Selasa (11/5), memutuskan Idul Fitri tahun ini jatuh pada Kamis (13/5).( Ant )