Politisasi Agama, Percaya atau Jera?
Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) belum lama merilis hasil risetnya. Jelang Pilkada, terungkap bahwa politisasi agama dilakukan semua partai politik yang ada. Tujuannya tak lain demi menggaet suara pemilih di negeri yang penduduknya mayoritas muslim. (cnnindonesia, 17/11/2020)
Menarik. Dari apa yang tersurat sudah tentu Islam menempati peringkat teratas yang dipolitisasi. Pantas saja, setiap kali jelang Pemilu, seolah musim bunga bersemi bagi Islam. Berbagai narasi agama pun terlontar. Baik melalui janji saat kampanye maupun simbol dan perilaku aktivis “mendadak” Islami dari parpol Islam sendiri maupun parpol yang selama ini dikenal sekuler. Namun usai pesta, tak jarang musim ikut berganti. Bak habis manis sepah dibuang. Sebelumnya semanis madu, setelahnya pil pahit yang tertelan.
Begitulah kiranya apabila negeri ini masih bertahan dalam jerat kapitalisme-demokrasi. Suara terbanyak sebagai penentu suatu kebijakan maupun kepemimpinan yang merupakan ciri khas demokrasi turut jadi faktor pemicu politisasi agama. Potensi umat Islam yang sangat besar jumlahnya sudah tentu menggiurkan bagi pihak-pihak yang ikut dalam kontestasi Pemilu. Maka segala upaya pun tak ragu dilakukan demi menangguk suara yang banyak.
Lihatlah bagaimana Presiden terpilih Amerika yang baru bahkan sampai mengutip hadits Baginda Nabi saw. yang membuat Muslim Amerika meleleh. Di dalam negeri tak sedikit kita saksikan kandidat yang mendadak lekat dengan citra seorang muslim taat lengkap dengan sorban, gamis dan mengimami salat berjamaah. Seolah terbentuk pandangan di masyarakat, bila ingin terpilih silakan merapat ke Islam dan pemeluknya.
Meski terkesan absurd namun masih tingginya animo umat untuk percaya dan bukannya jera akan janji manis yang ditawarkan, menunjukkan betapa rindunya umat berada dalam naungan pemimpin adil yang bisa mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Kerinduan yang hakikinya gagal dipenuhi ideologi kapitalisme yang menjadikan demokrasi sebagai konsep bernegaranya. Wajar, sebab sistem ini membawa cacatnya sejak lahir. Bagaimana tidak, ongkos politik yang tinggi meniscayakan hanya yang kuat dukungan finansialnya bisa diizinkan bertarung dalam kontestasi. Tentu sokongan dana tersebut tak datang dengan cuma-cuma. Para pemodal pemilik kapital yang memberi, dengan sendirinya menaruh harapan akan imbal balik pasca tampuk kekuasaan sudah dalam genggaman. No free lunch alias tiada makan siang yang gratis bukan?
Sampai di sini terjawab sudah soal mengapa umat kebanyakan hanya bisa gigit jari pasca berhasil mengantar calon pemimpin yang dipilih ke singgasananya. Narasi agama yang sebelumnya getol diusung sang pemimpin menjelma usang ketika berkelindan dengan tuntutan kesejahteraan dan tegaknya keadilan di tengah rakyat. Mengapa demikian?
Politik balas budi penyebabnya. Bagian yang melekat pada demokrasi. Sukar dielakkan. Caranya dengan mnggiring para elite terpilih dalam proses pemilihan untuk tunduk di bawah kendali para kapitalis yang telah allout menyuplai fulus hingga terpilih. Lebih parah lagi jika penguasa itu sendiri merangkap kapitalisnya. Bisa dipastikan berakhir dengan apa yang disebut korporatokrasi. Korporat sekaligus merangkap duduk di jajaran birokrasi.
Tingkah polah calon maupun elite pemimpin yang digambarkan di atas idealnya membuka mata umat akan kenyataan pahit yang bakal selalu dialami selama tak sungguh-sungguh berupaya melepas diri dari kubangan kapitalisme-demokrasi. Publik tentu bisa menyaksikan sendiri bahwa demi kepentingan sesaat, politisasi agama terus dipraktikkan tanpa rasa malu ataupun segan. Apalagi sekularisme sebagai induk kapitalisme-demokrasi sejak awal sudah memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya halal dan haram jadi prioritas ke sekian. Jelas, mengharap demokrasi berpihak pada agama, dalam hal ini Islam, seperti kata pepatah, bagai pungguk merindu bulan. Mustahil.
Beberapa hari mendatang negeri ini kembali bakal menggelar hajatan demokrasi. Politisasi agama, notabene Islam bisa dipastikan kembali tersaji di depan mata umat. Bagi umat yang sudah memahami wajah asli demokrasi di atas seharusnya tak lagi mudah diperdaya narasi basi berkedok agama. Sebabnya Islam tak mengenal politisasi. Apalagi diobral sebatas narasi. Islam justru mengatur politik sebagaimana seluruh aspek lainnya dalam hidup manusia.
Alhasil ketimbang menjumput Islam hanya sesaat dan parsial saja, mengapa tak sekalian mengambil syariah sebagai referensi? Tentunya secara totalitas alias kaffah. Sebagaimana perintah Allah swt yang diwajibkan bagi orang yang beriman.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”(QS Al Baqarah:208)
Sungguh Islam melalui kitab suci Alquran satu-satunya yang mampu menjawab segala persoalan hidup manusia. Tak hanya pasal individu namun juga muamalah, politik dan kemasyarakatan. Selain itu, menerapkan syariah Islam sejatinya juga bentuk syukur akan amanat hidup pemberian Ilahi. Adakah yang lebih berhak ditaati selain Allah yang Maha Mengetahui?
Firman Allah swt,
“…..Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89)
Wallaahu a’lam.