Bangga Indonesia, Semarang – Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menyatakan generasi muda di Indonesia perlu bersikap kritis dalam menghadapi disrupsi teknologi sehingga bisa menyaring konten-konten seperti radikalisme dan intoleransi yang mengancam keutuhan bangsa.
“Kita mengalami disrupsi yang menantang, mulai dari disrupsi teknologi, pandemi, dan gaya hidup sehingga pada generasi muda harus kita bantu mengatasinya melalui seperangkat nilai-nilai penting yang berbasis pada akhlakul karimah,” kata Yenny Wahid saat menyampaikan sambutan pada acara Jateng Edufest 2021 “Urip Rukun, Jateng Gayeng” secara daring di Semarang, Rabu.
Ia mencontohkan adanya fenomena teroris milenial yang terjadi karena banyak faktor, salah satunya mudah diprovokasi dan dikooptasi ke jalan yang tidak benar.
Untuk membantu mengatasi setiap permasalahan pendidikan generasi muda di era disrupsi ini, Yenny menyebut bisa dilakukan melalui Program Sekolah Damai agar yang bersangkutan tetap memiliki perilaku positif.
Sekarang ini, lanjut dia, anak-anak mudah terpancing emosi dan terprovokasi saat merespon konten-konten yang mereka hadapi di media sosial.
“Kita bisa melihat misalnya adanya teroris milenial, peristiwa-peristiwa radikalisme, itu semua terjadi karena faktor mereka mengalami kegelisahan. Ini menjadi ‘warning’ bagi kita semua, orang tua dan guru,” ujarnya.
Menurut dia, saat generasi muda mengalami kegelisahan, keputusasaan, resah dengan masa depannya, dan tidak percaya diri maka mereka sangat mudah terpengaruh melakukan tindakan-tindakan yang salah.
“Melalui Program Sekolah Damai ini, anak anak diajak untuk mengedepankan budaya damai, sikap, tindakan, cara hidup yang menolak kekerasan, serta mencegah konflik, baik individu maupun kelompok,” katanya.
Sejak 2017, Wahid Foundation berkolaborasi dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) mengembangkan Program Sekolah Damai untuk mendukung pendidikan karakter dan memromosikan toleransi, serta perdamaian di lingkungan pendidikan, khususnya sekolah menengah atas di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Allaster Cox selaku Kuasa Usaha Duta Besar Australia menyatakan, organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam upaya melawan intoleransi di tingkat lokal maupun nasional. Sebab, ormas sipil bisa memberi masukan terkait kebijakan nasional untuk mencegah ekstremisme dan kekerasan di lapangan.
“Saya sangat mendukung dan menghargai kegiatan yang dilakukan Wahid Foundation yang terus membangun lingkungan sekolah yang aman dan toleran di Indonesia,”ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menyebut intoleransi menjadi tantangan terbesar Indonesia saat ini, termasuk perundungan, dan kekerasan seksual sehingga nilai-nilai toleransi perlu diajarkan sejak dini di lingkungan pendidikan.
Menurut dia, proses pembelajaran siswa didik tidak akan berhasil jika tak didukung dengan iklim pendidikan yang toleran.
Oleh karena itu, Nadiem mengapresiasi inisiatif Wahid Foundation yang mengembangkan Sekolah Damai di empat provinsi sejak 2017, serta mengapresiasi Pemprov Jateng yang telah mendukung Deklarasi Sekolah Damai Pro Toleransi.
“Harapannya, ini bisa menginspirasi daerah lain,” katanya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menceritakan pengalaman bertemu dengan seorang guru yang membuktikan bahwa pelajaran matematika itu tidak sulit, tapi mengajari mereka berkata baik, toleran, dan budaya antre itu yang sulit saat ini.
“Itu persoalan moral yang mesti dibangun saat ini dan kegiatan ini sangat bermanfaat bagi upaya menyemai toleransi dan perdamaian di lingkungan pendidikan,” ujar Ganjar.(ant)