SIAPA yang tak terkapar akibat pandemi covid 19 ini? Hampir semua sektor terdampak akibat wabah mematikan ini. Tak terkecuali di sektor perbankan. Kenaikan NPL hingga melambatnya penyaluran kredit adalah wajah perbankan di 2020. Menyedihkan.
Lalu bagaimana perbankan menyikapi di 2021 dan apa yang harus dilakukan?
Likuiditas yang berlebih serta susahnya melempar kredit seolah menjadi isu dominan bagi perbankan saat ini. Maklum di tengah permintaan kredit yang melambat, ekses likuiditas justru bisa jadi bumerang buat perbankan, karena bank musti harus membayar bunga simpanan ke nasabah.
Sementara pendapatan bunga dari penyaluran kredit justru terkendala. Agar ekses likuiditas tak malah membebani perusahaan, tak heran beberapa bank memilih tidak agresif dalam memburu dana pihak ketiga.
Ada memang, potensi penyaluran kredit, namun bank musti berpikir ekstra. Ya, wajar saja, ancaman yang tampak adalah kredit macet.
Kebijakan restrukturisasi kredit yang digagas oleh pemerintah saja sudah membuat perbankan sedikit kehabisan napas. Pendapatan yang harusnya mereka terima melalui bunga bank atau fee based income terpaksa harus tertunda karena kebijakan tersebut.
Ditambah lagi penyaluran kredit yang kurang hati-hati, maka menjadi kiamat bagi bank.
Dari data yang dihimpun, realisasi program restrukturisasi kredit telah mencapai Rp 934,8 triliun hingga Desember 2020.
Restrukturisasi kredit ini sedikitnya diberikan kepada 7,5 juta debitur. (Liputan 6.com, tgl 21 Des 2020). Angka yang lumayan cukup besar.
Di 2021, suka tidak suka atau mau tidak mau, bank harus mulai berani. Meminjam istilah bung Karno yakni “Vivere pericoloso” yang artinya hidup menyerempet bahaya.
Maka bank harulsah ber-vivere pericoloso. berani nyrempet-nyrempet bahaya. Perbankan harus bangkit dan mulai menata strateginya terlebih di penyaluran kredit.
Cara paling sederhana bagi bank saat ini adalah menentukan pasar mana yang paling rasional untuk dimasuki. Bank harus fokus pada industri yang prospek untuk dibiayai. Tidak semua sektor harus dilayani, meskipun bank memiliki skim kredit yang begitu lengkap.
Sektor sektor yang terbukti bertahan atau justru melesat ditengah pandemi wajib menjadi prioritas untuk diserang. Fokus, kalau perlu habis-habisan.
Beberapa sektor yang menjanjikan tersebut antara lain sektor agrobisnis yang meliputi kebutuhan pangan, telekomunikasi, ritel e-commerce, farmasi, dan pastinya alat-alat kesehatan.
Adapun untuk sektor-sektor yang terpuruk, sementara jangan mendekat dahulu.. Harapannya, bank tidak membawa beban kredit macet atas ekspansi yang telah dilakukan.
Di sisi lain, kredit konsumtif saat ini juga bisa menjadi andalan bagi bank untuk mendongkrak outstanding kreditnya. Jika diperhatikan, masyarakat saat ini lebih banyak melakukan spending money karena imbas kebijakan work from home (WFH) sertaPemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di sejumlah daerah, alhasil pola perilaku konsumsi masyarakat turut berubah.
Jika selama ini masyarakat sering beraktivitas di luar, maka sekarang ruang geraknya terbatas alias melakukan aktivitas di dalam rumah atau biasa disebut dalam jaringan (daring).
Pun demikian dengan aktivitas belanjanya. Jika dulu masayarakat lebih sering belanja di offline shop, maka saat ini mereka memiliki banyak waktu untuk mengintip produk di marketplace. Secara psikologis karena terlalu sering melihat etalase di berbagai marketplace atau di media sosial maka memunculkan apa yang disebut dengan demonstration effect.
Yakni masyarakat membeli barang di luar kewajaran dan kebutuhan atau lebih didorong oleh faktor keinginan. Dengan begitu, akibatnya perilaku konsumsi masyarakat cenderung meningkat. Terutama bagi kelompok menengah ke atas yang memiliki daya beli cukup kuat dan tidak terlalu terpengaruh oleh adanya pandemi.
Situasi itulah yang harus dibaca oleh perbankan untuk menyusun jurus menjual skim kredit konsumtif. BPD datau BPR sejatinya memiiliki skim kredit andalan yakni multiguna khusus untuk ASN atau pegawai tetap perusahaan. Ini skim kredit yang sangat rasional ditengah pandemi.
Alasannya mereka (BPD atau BPR) sudah memiliki captive market sendiri dengan segmen pasar yakni nasabah ASN. Mayoritas nasabah yang berasal dari kalangan ASN ini selalu menggunakan kredit pegawai yang tidak lain termasuk kategori kredit konsumsi.
Dari segi risikopun termasuk rendah. Karena penggajian kepada nasabah ASN selama ini melalui Bank, sehingga tidak sulit bagi Bank untuk mendebet angsuran sesuai dengan tanggal penggajian.
Lalu bagaimana dengan bank-bank swasta atau yang tidak memiliki seperti BPD?
Mereka bisa memanfaatkan kredit konsumsi dengan agunan properti atau membiayai kredit usaha yang masih memiliki prospek di tengah pandemi. Tentu jika bermain di kredit usaha, maka mitigasi risiko juga perlu diperhatikan lebih dalam.
Satu hal lagi, jurus memainkan suku bunga dengan bumbu gimmick- gimmick menarik entah keringanan biaya atau hadiah langsung bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi calon debitur untuk mengajukan kredit.
Ekspansi kredit adalah keharusan, namun jangan sporadis atau lebih parahnya tidak memiliki bekal strategi dalam berperang. Tidak semua skim kredit menguntungkan ditengah pandemi ini, bahkan jika pandemi ini telah berakhir.
Yang harus dilakukan adalah menganalisa dan memilah. Alhasil, bank harus segera beradaptasi dengan kondisi pandemi dengan menerapkan strategi baru, dan kembali pada jalur kinerja yang good performance.
Harapannya, fungsi intermediary bank berjalan lancar dan mampu menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi nasional di era new normal.
(Penulis karyawan Bank BUMD di Sidoarjo)