Cukupkanlah Apa yang Ada Padamu !
Sobat. Salah satu sifat dasar manusia adalah tidak pernah puas dan tidak pernah merasa cukup. Semakin rendah kadar spiritualnya, semakin tinggi rasa ketidakcukupannya. Orang yang memiliki kadar spiritual yang rendah, akan memiliki kehausan yang sangat tinggi untuk mengumpulkan harta di dunia ini; di mana hartanya berada, biasanya di situ pula hatinya terpaut dan berada.
Sobat. Bruce Larson pernah mengatakan bahwa, “ Orang yang terus mengumpulkan untuk kehidupan di dunia ini saja, tanpa memikirkan apalagi untuk berinvestasi untuk kekekalan adalah ibarat orang yang menjaring angina dan tolol untuk selamanya.
Sobat. Seorang filsuf pernah menyampaikan pendapat atau anekdot yang kocak dan menggelitik mengenai seorang pekerja. Ketika baru masuk mungkin masih calon pegawai/karyawan, pertanyaan sehari-harinya, “ Hari ini kita makan apa, ya”. Ketika sudah diangkat menjadi karyawan atau pegawai tetap dan dipercaya menangani atau memegang beberapa proyek, pertanyaannya berkembang, “ Hari ini kita makan di mana, nih?” Lalu ketika ia sudah menduduki jabatan puncak dan strategis, pertanyaannya berkembang lagi, “ Hari ini, dengan siapa kita makan!” bahkan kalau kekayaan dan kekuasaan melimpah pertanyaannya, “ Hari ini, Siapa yang kita makan.” Saatnya kita ingat dan kembali kepada Allah dengan pertanyaannya, “ Hari ini apa yang bisa kita berikan kepada DIA ( Allah ) yang membuat-Nya layak mencinta dan menolong kita, serta kedua orang tua atau keluarga kita bangga dan bermanfaat bagi sesama.”
Sobat. Cukupkanlah apa yang ada padamu. Satu definisi yang menyentuh nurani mengenai definisi “CUKUP” ini adalah ketika tangan terangkat ke atas dan kepala yang tengadah ke Sang Pencipta untuk mengucap syukur dan benar-benar merasakan syukur dalam hati terdalam, serta kaki yang melangkah untuk berbagi kepada sesama serta menabung kebaikan. Di situlah definisi “ cukup” memiliki arti yang sesungguhnya.
Allah SWT berfirman :
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” ( QS. Ar-Rum (30) : 30 )
Sobat. Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah”, terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia. Di sini “fitrah” diartikan “agama” karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-dzariyat/51: 56)
Sobat. Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidaklah menjadikan jin dan manusia melainkan untuk mengenal-Nya dan supaya menyembah-Nya. Dalam kaitan ini Allah swt berfirman:
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang MahaEsa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9: 31)
Pendapat tersebut sama dengan pendapat az-Zajjaj, tetapi ahli tafsir yang lain berpendapat bahwa maksud ayat tersebut ialah bahwa Allah tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk tunduk kepada-Nya dan untuk merendahkan diri. Maka setiap makhluk, baik jin atau manusia wajib tunduk kepada peraturan Tuhan, merendahkan diri terhadap kehendak-Nya. Menerima apa yang Dia takdirkan, mereka dijadikan atas kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dengan apa yang telah Dia tentukan. Tak seorang pun yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mudarat karena kesemuanya adalah dengan kehendak Allah. Ayat tersebut menguatkan perintah mengingat Allah swt dan memerintahkan manusia supaya melakukan ibadah kepada Allah swt.
Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. “Wajah” atau “muka” dikhususkan penyebutan di sini karena merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling terhormat.
Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:
Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian Abu Hurairah berkata, “Bacalah ayat ini yang artinya: ¦ fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” Dalam riwayat lain, “Sehingga kamu merusaknya (binatang itu).” Para sahabat bertanya, “Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil?” Rasul menjawab, “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang berpendapat bahwa fithrah itu artinya “Islam”. Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat (30) dan hadis Abu Hurairah di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram . . . “(Riwayat Ahmad dari hammad)
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab, “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui,” yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw. Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut:
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata, “Maka Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? Rasulullah menjawab, ‘Dan anak-anak musyrik.” (Riwayat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub)
Sebagian ulama lain mengartikan “fithrah” dengan “kejadian” yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, “Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya.” Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa “fithrah” itu berarti “kejadian” dan “fathir” berarti “yang menjadikan” dengan firman Allah:
Katakanlah, “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi.” (az-Zumar/39: 46)
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku. (Yasin/36: 22)
Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya.” (al-Anbiya’/21: 56)
Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, adh-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakha’i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan.” Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Ungkapan “itulah agama yang lurus”, menurut Ibnu ‘Abbas, bermakna “itulah keputusan yang lurus”. Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.
Sobat. Sebagai penutup artikel ini saya mengingatkan pada diri ini dan kita semua, Jika suatu pekerjaan dicintai, dinikmati dan dilakoni dengan sungguh-sungguh, di situlah akan mengalir sungai keberkahan dan berlian-berlian yang mencukup kita untuk hidup.
Jika kita mampu mencintai diri dengan sungguh-sungguh, menerima keadaan diri apa adanya, serta mengembangkan diri untuk lebih baik setiap hari, kita akan kaget bahwa sebenarnya ada banyak “ berlian” dalam diri yang belum tergali untuk kita kembangkan.
Sobat. Banyak orang melihat keberhasilan dari sudut pandang lahiriah saja. Keberhasilan dan ketenaran diukur dari seberapa banyak yang kita miliki. Padahal sama sekali bukan itu! Keberhasilan justru diukur dari sejauh mana kita dapat memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki untuk berbagi kepada sesame dan memuliakan Sang Khalik.
( Pagi yang Indah di IPB Convention Hotel , DR Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. )