Bangga Indonesia, Banyuwangi – Perbincangan seputar isu terorisme kini menyasar kaum perempuan. Hal ini adalah buntut dari berita aksi teror akhir-akhir ini yang menjadi trending di berbagai media dan terungkap pelakunya melibatkan perempuan. Sebagaimana yang dirilis oleh pihak kepolisian, pelaku bom bunuh diri di gereja Katedral Makasar adalah pasangan suami istri. Selain itu baru-baru ini diungkap ada 3 perempuan yang diduga juga terlibat dengan pelaku. Begitu pula dengan aksi penembakan di Mabes Polri yang terjadi dalam selang waktu berdekatan dengan teror bom di Makassar. Polisi menyebutkan bahwa pelaku serangan adalah perempuan berusia 25 tahun.
Menyikapi hal ini banyak pengamat menilai bahwa perempuan mulai punya peran sentral dalam aksi-aksi terorisme. Berbagai analisa diungkapkan salah satunya dari Komisioner Komnas Perempuan yang menyampaikan bahwa perempuan lebih mudah dimanfaatkan dalam jaringan terorisme, sebab aspek pengetahuan dan ekonomi perempuan dikontrol oleh laki-laki (news.detik.com 1/4/2021). Sementara di tahun sebelumnya komnas perempuan juga menyoroti mudahnya perempuan ‘termakan’ janji kelompok radikal internasional seperti ISIS melalui propaganda di media sosial. Hal yang sama juga diungkap oleh peneliti hukum dan HAM LP3ES, Milda Istiqomah bahwa motivasi keterlibatan perempuan dalam aksi terror 5-6 tahun terakhir selain konteks jihad adalah konteks perempuan tersubordinasi, terpinggirkan dan tidak mendapat keadilan (kompas.com 3/4/2021).
Sebagaimana isu terorisme di tahun-tahun sebelumnya analisa terkait keterlibatan perempuan dalam aksi teror juga tetap saja diidentikkan dengan islam dan syariatnya. Hal ini tergambar jelas ketika sejak awal aksi teror bom di Indonesia, Barat dalam hal ini AS juga melalui media-medianya memblow up bagaimana ciri-ciri teroris yang digambarkan dengan perempuan berjilbab, cadar, laki-laki berjenggot, jidat hitam dan definisi lain yang tendensius terhadap syariat agama islam. Bahkan hingga hari ini ciri-ciri itupun bergeser pada model pemikiran sebagaimana yang diungkap dalam surat wasiat yang diduga ditinggalkan oleh pelaku teror di Makassar dan Mabes polri. Diantaranya anti riba, anti pada pemerintah, menyebut kafir, mengamalkan jihad, ingin khilafah, yang kesemuanya secara tidak langsung tetap saja membentuk stigma buruk masyarakat terhadap ajaran islam.
Tak ketinggalan pula statemen para tokoh islam yang malah semakin menguatkan tuduhan bahwa teroris identik dengan islam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Alissa wahid, penggerak gusdurian melalui laman twitternya mengajak untuk mengakui bahwa faktanya memang terorisme dikaitkan dengan islam. menurutnya, karena teroris lahir dari tafsiran agama yang keliru. Sehingga penting mengajak umat islam meninggalkan pemuka agama yang mengajarkan kebencian, lanjutnya. Pernyataan ini ambigu dan justru membuat masyarakat secara umum semakin takut mempelajari syariat islam dan menjauhi majelis-majelis yang membahas islam muamalah dan islam politik. Bisa saja karena dianggap mengajarkan kebencian pada pemerintah dan anti dengan agama lain karena banyak penggunaan kata kafir dalam pembahasannya.
Jika di Barat aksi-aksi teror mengarah pada sentimen terhadap islam, sedikit berbeda dengan di Indonesia yang mayoritas muslim. Isu terorisme mengarah pada mengikis pemahaman umat islam terhadap ajaran agamanya. Narasi agar berislam biasa saja, jangan belajar syariat terlalu mendalam supaya tidak mengarah pada paham radikal, harus berislam secara moderat, menjadi opini yang diblow up bahkan oleh tokoh-tokoh islam. Sebagaimana baru-baru ini salah satu tokoh islam menghimbau agar dosen agama di fakultas umum tidak terlalu banyak mengajarkan aqidah dan syariah kepada mahasiswa muslim seperti yang berisi surga, neraka, islam, kafir, lurus, sesat. Karena hal tersebut dianggap bisa meningkatkan resiko paham radikalisme dan memicu munculnya bibit terorisme. Ditambah lagi kebijakan dunia pendidikan untuk membentuk moderasi beragama salah satunya menghilangkan pembahasan jihad dan khilafah dari pembahasan Fikih. Hal ini semakin menunjukkan upaya pengikisan pemahaman umat terhadap ajaran islam yang sesungguhnya.
Setali tiga uang, para feminispun menyoroti keterlibatan perempuan dalam terorisme adalah faktor ketertindasan dan termarginalkan. Beberapa hukum syariat dituding menjadi biang ketergantungan dan ketundukan perempuan terhadap laki-laki (budaya patriarki), yang memudahkan laki-laki (suami) memaksakan paham radikalisme pada istrinya. Sehingga para feminis terus menyeru dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam ide kesetaraan gender dengan asumsi agar perempuan bebas menentukan pilihan, lebih berdaya secara ekonomi dan tidak mudah dicekoki paham radikalisme. Sejumlah program deradikalisasi melibatkan perempuan mulai banyak disambut di pemerintahan pusat maupun daerah. Salah satunya di Banyuwangi , bupati perempuan yang baru terpilih segera merespon cepat dengan membuat sejumlah program yang melibatkan perempuan melawan paham ekstrimisme. Dengan cara mengonsolidasi PKK yang mempunyai jaringan hingga RT untuk terlibat pendidikan antiradikalisme sejak dini dalam keluarga, pemberdayaan ekonomi perempuan, Juga kolaborasi dengan berbagai organisasi perempuan (news.detik.com 3/4/2021)
Ada yang perlu ditelaah lebih jauh utamanya sebagai seorang muslim agar tidak mudah terbawa pada pemikiran selain islam. Benarkah ide kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan bisa menjadi solusi serta mengangkat martabat perempuan. Atau justru menjauhkan muslimah dari perannya yang mulia sesuai perintah Allah. Jika kita kaji mendalam munculnya ide kesetaraan gender dan perjuangan hak-hak perempuan telah ada sejak abad ke 18 seiring dengan revolusi industri di Eropa. Diskriminasi masyarakat barat terhadap perempuan terlihat nyata. Diantaranya upah buruh perempuan lebih kecil dibanding laki-laki dengan alasan kodrat perempuan yang lemah, memiliki kondisi haid, hamil dan melahirkan. Perempuan tidak diberikan hak dalam pemilu dan berpolitik sehingga taidak bisa mememperjuangkan haknya. Kondisi demikian membuat gelombang protes para perempuan barat untuk lebih bebas memilih hak reproduksi, mandiri secara ekonomi dan setara dengan laki-laki di ruang publik termasuk dalam hak berpolitik. Pejuang kesetaraan gender tersebut melakukan propaganda bukan hanya lewat opini namun juga parlemen dan undang-undang.
Tidak cukup di negerinya, propaganda juga ditawarkan ke negeri-negeri muslim karena mereka menganggap banyak hukum-hukum islam yang akan menghambat cita-cita kesetaraan gender. Ajaran islam tentang jilbab, kepemimpinan suami (qawwam), safar, waris, iddah, poligami, haramnya pemimpin perempuan mereka anggap mengekang hak dan kebebasan perempuan. Gagasan yang selalu mereka munculkan adalah isu diskriminasi perempuan, isu kekerasan pada perempuan dan isu partisipasi perempuan dalam politik, ekonomi dan masyarakat. Ketiga isu tersebut selalu diarahkan bahwa penyebabnya adalah syariat. Seperti anjuran agama bahwa peran wanita sebagai ibu rumh tangga dan pengasuhan anak, juga hak poligami bagi laki-laki dianggap sebagai ajaran yang diskriminatif. Isu Kekerasan perempuan juga selalu diarahkan pada pelaksanaan syariat seperti hukum nusyuz, orang tua yang dianggap ‘memaksa’ anaknya berjilbab, juga menggugat pernikahan remaja karena dianggap masih dibawah umur, tetapi malah tidak peduli dengan maraknya seks bebas remaja. Begitu juga dalam mengusung isu partisipasi perempuan gugatan mereka sangat keras dalam menolak syariat haramnya pemimpin perempuan.
Seharusnya kita membuka mata bahwa upaya perjuangan menyetarakan hak perempuan dan laki-laki oleh para feminis bahkan sejak dibentuknya organisasi perempuan dunia oleh PBB hingga hari ini tidak membuahkan hasil. Yang ada justru menambah kasus pelecehan dan kekerasan perempuan juga rusaknya generasi. Konsep kesetaraan gender yang mendorong perempuan berkiprah diranah publik dan menghasilkan materi sebagaimana lelaki berakibat pada terabaikannya hak-hak anak dan melahirkan generasi yang rusak karena kurang perhatian dan bimbingan. Keluarga tidak lagi menjadi benteng pertahanan moral dan perilaku dikala lingkungan terkungkung gaya hidup bebas dan materialistis. Kasus pelecehan seksual, pemerkosaan juga makin marak dengan banyaknya perempuan yang dieksploitasi diruang publik ditengah pemahaman masyarakat yang serba bebas. Kasus percerian pun meningkat yang tidak sedikit pula pemicunya justru ketika perempuan lebih berdaya secara finansial.
Sebaliknya, semua yang mereka tuduhkan bahwa ajaran islam menjadikan perempuan dalam posisi yang rendah sangat tidak berdasar. Islam justru sangat memuliakan kedudukan wanita. Ajaran islam sangat menjaga kehormatan wanita mulai dari lingkup keluarga, masyarakat juga negara. Syariat menutup aurat dan jilbab akan menjaga kehormatan dan terlindungi dari fitnah. Posisi wanita dalam islam sebagi ibu dan pengatur rumah tangga merupakan posisi mulia karena pahala mengalir di setiap upaya mengatur kebutuhan keluarganya. Aturan islam juga menjaga wanita untuk menjauhi khalwat (berdua-duaan dengan non mahram) dan ikhtilat (bercampur-baur dengan non mahram) kecuali untuk keperluan mendesak seperti keperluan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Ini juga menjadi solusi maraknya pelecehan terhadap wanita. Meski demikian islam tidak melarang wanita bekerja diluar rumah untuk mengamalkan ilmunya, bukan untuk mandiri secara ekonomi dan setara dengan laki-laki. Tentunya sesuai tuntunan syariah dengan tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu. Karena islam telah membebankan tanggung jawab penafkahan terhadap laki-laki dan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Islampun juga memberikan hak politik yang sama sebagai warga negara dalam melakukan muhasabah (koreksi) terhadap penguasa. Kesemuanya itu akan berjalan dan bisa terealisasi hanya dalam sebuah tatanan kehidupan yang menjadikan syariat islam sebagai pengatur dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Oleh karena itu opini bahwa syariat islam menjadikan diskriminasi terhadap wanita sehingga memicu aksi-aksi kekerasan benar-benar tuduhan yang tidak berdasar. Dalam hal kekerasan, Islam tentu melarangnya dengan alasan apapun. Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan kekerasan, baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan. Dalam hal ini Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl : 90). Maka apapun bentuk aksi teror yang terjadi hari ini, apalagi mengatasnamakan Islam dan jihad, terlebih lagi mencitraburukkan kedudukan perempuan muslimah, maka itu adalah fitnah dan upaya menguatkan islamophobia.
FATA VIDARI, S.Pd
Penulis dan Aktivis Peduli Generasi
Banyuwangi, Jawa Timur