Bahaya! Deforestasi Terjadi di Negeri Paru – Paru Dunia !?
Oleh Lilis Sulistyowati, S.E
Pemerhati Sosial
Baru – baru ini ada pertemuan Presiden Jokowi dengan Greenpeace Indonesia. Dalam pidatonya beliau menyebutkan bahwa laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir. (detiknews.com)
Bagaimana sebenarnya kondisi deforestasi di Indonesia yang merupakan negeri paru – paru dunia? Lalu apakah bahayanya jika deforestasi terus meningkat?
Deforestasi di Negeri Paru – Paru Dunia
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa, “Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat. Faktanya, dari tahun 2002 sampai 2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektare dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektare kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini. (detiknews.com)
Seperti Bom Waktu
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si yang merupakan koordinator LENTERA ( Kajian Strategis Perempuan) mengupas bahaya deforestasi di Negeri Paru – paru dunia. Nindira hadir dalam acara Insight #98 Pusat Kajian dan Analisis Data. Acara yang diselenggarakan pada Senin (8/11/2021) bertajuk “Klaim Deforestasi Indonesia Turun, Faktanya?”
Nindira menyampaikan bahwa “exploitasi hutan secara besar – besaran akan menimbukan bom waktu, yang tinggal menunggu waktu kapan meledaknya dan terjadi bencana”.
Penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektar ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah. Pemerintah tidak boleh menganggap sepele angka tersebut, sebab ongkos sesungguhnya harus ditinjau dari masalah kesehatan masyarakat, biaya penanggulangan, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Tingkat keseriusan pemerintah harus ditindaklanjuti dengan proaktif menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut. Selain itu, pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut. Komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan penindakan tegas dengan mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan sehingga memberikan efek jera, ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan.
Beliau mempertegas walaupun bencana itu datangnya dari Allah, akan tetapi juga bisa terjadi karena tangan manusia. Seperti banjir bandang yang pernah terjadi di Kalimantan akibat pengalihan fungsi dan terjadi exploitasi besar – besaran.
Beliau juga menggambarkan “Perlu dibedakan pengelolaan hutan primer, dan sekunder”.
Hutan di Kalimantan merupakan hutan primer yang masih perawan yang dulunya merupakan paru – paru dunia. Akan tetapi saat ini tinggal sedikit dan diistilahkan oleh beliau “ngap – ngap”. Seharusnya dijaga tidak diexploitasi besar – besaran.
Nindira juga memaparkan pandangan Islam terkait pengelolaan hutan. Di dalam hadist ada tiga hal yang berserikat yakni air, padang gembalaan dan api. Hutan termasuk kedalam padang gembalaan yang tidak boleh dimiliki oleh individu tapi untuk bersama. Beliau menambahkan berbeda dengan kapitalis, kapitalis akan terus mengambil hasil hutan karena dianggap modal.
Para kapital sebenarnya kebingungan juga melihat dampak hutan yang berkepanjangan. Seperti pengalihfungsian hutan diganti tanaman lain dan juga pembangunan infrastruktur berakibat akan menganggu produktivitas ekologi. Masing – masing tanaman memiliki fungsi yang berbeda. Apalagi pada hutan primer sehingga walaupun ditanami kembali produktivitasnya akan berbeda dengan sebelumnya. Perlu ada suatu komparasi alternatif untuk melihat problematika ini dari berbagai sisi sehingga dapat menyolusi tuntas ke akarnya bukan solusi pragmatis lagi.
Islam Alternatif Solusi
Solusi pengelolaan hutan agar tidak terjadi deforestasi lagi membutuhkan hubarok atau pakar dalam melihat masalah ini. Para pakar inilah yang nanti mampu mengetahui dengan detil bagaimana kerusakan yang sudah terjadi dan apa saja yang harus dilakukan untuk mengembalikan fungsi hutan kembali.
Para pakar inilah yang akan memikirkan tanaman apa yang harus ada dalam jenis hutan primer maupun sekunder. Pemerintah pun juga akan memberikan sanksi yang tegas bagi oknum yang melakukan eksploitasi terhadap hutan.
Islam pun mengajarkan bahwa adanya hubungan manusia dengan Allah yang membuat manusia selalu mengontrol tingkah manusia agar selalu membawa kebaikan bukan justru merusak, termasuk hutan.
Hutan pun merupakan kepemilikan umum yang dikelola negara untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk individu atau pihak Kapital yang fokusya hanya mencari untung.
Dengan adanya hubarok, pengelolaan hutan pun bisa lebih terarah dan teratur, tidak hanya berpikir untuk memanfaatkan demi kepentingan bisnis akan tetapi lebih dari itu untuk kemaslahatan umat. Wallahu’alam bi sowab