Bangga Indonesia, Jakarta – “Jadi orang harus “solutif” (solusional) ! cuplikan dialog Bu Tejo ini menghiasi media sosial di Indonesia, namun meme ini dapat menggambarkan dunia usaha di tengah-tengah pandemi yang membutuhkan penanganan yang tepat agar mampu bertahan.
Dunia usaha terutama sektor koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) dengan kondisi seperti sekarang ini membutuhkan institusi atau perorangan yang bisa memberikan jalan keluar (solution maker).
Seperti dilakukan Wahyoo, perusahaan rintisan lokal yang memfokuskan kegiatannya dengan membantu warung-warung makan tradisional untuk meningkatkan daya saing melalui pendampingan usaha secara berkelanjutan.
Layanan yang disediakan platform ini meliputi kemudahan berbelanja, layanan teknologi pendukung, pelatihan wirausaha, kegiatan komunitas, hingga renovasi warung.
Peter Shearer, CEO dan Founder Wahyoo mengatakan karakter sebagai “solution maker” sangat dibutuhkan pada saat ini.
Hal paling utama yang harus tertanam dalam pola pikir seorang pebisnis adalah dengan menjadi “problem solver” atau “solution maker”. Dengan terlatih memberikan solusi maka karakter sebagai pengusaha yang kreatif dan inovatif akan terbentuk, jelas Peter.
Peter mengaku karakter sebagai “solution maker” merupakan tuntutan yang harus dihadapi saat memberikan pendampingan kepada mitra-mitranya.
Justru dengan terbiasanya mencari solusi, mereka terpacu menjadi lebih kreatif dan inovatif yang semakin memperkuat karakter dan jiwa pengusaha mereka.
Salah satunya, apabila seorang pengusaha warung makan menghadapi suatu masalah. Maka yang harus diperhatikan masalah itu harus dihadapi bukan dihindari.
Membangun manusia
Sedangkan Nadia Hasna Humaira, pegiat “sociopreneur” atau pebisnis yang kegiatannya memberi dampak kepada masyarakat mengatakan sebenarnya orang-orang yang terlibat dalam bisnis sama halnya dengan membangun manusia.
Menurutnya, sifat dasar manusia itu saling menjaga, sehingga ketika pebisnis tengah menjalankan usahanya. Maka gerbong yang ada di belakangnya akan saling menjaga agar bisnisnya itu tetap berjalan.
Bisnis pada hakekatnya ditujukan untuk membuat perbedaan terhadap hidup orang lain. Sehingga kalau tidak terjadi perbedaan dalam kehidupan orang lain maka sebaiknya bisnis itu ditinggalkan saja, kata Nadia.
Memang adakalanya dalam menjalankan bisnis seolah-olah merasa tidak pernah mencapai kepuasan. Hal ini terjadi karena fokus bisnisnya hanya pada tujuan pribadi. Namun, begitu pikirannya terbuka bahwa bisnis harus memberi dampak baik kepada orang lain, meskipun sekedar berbagai maka kepuasan itu akan tercapai.
Ada perasaan lebih dari sekadar uang, rasa puas yang tak terhingga. Jadi, uang tidak lagi menjadi tujuan akhir, tapi sebagai alat agar dapat menciptakan dampak sosial yang lebih besar, kata Nadia.
Teori sudah membuktikan rekomendasi sebuah riset, bahwa bisnis yang memiliki tujuan baik akan lebih mudah mendapatkan pelanggan (customer). Termasuk, hasil riset lain yang menyatakan bahwa karyawan pada perusahaan yang memiliki dampak sosial baik, akan lebih bersemangat dan memiliki motivasi lebih tinggi dalam berkarya.
Karena itu tidak heran, perusahaan berkarakter “sociopreneurship” biasanya lebih mudah mendapatkan karyawan terbaik.
Dan dengan dukungan konsumen (customer) serta karyawan secara internal, tidak heran jika perusahaan dengan karakter tersebut bisa berputar lebih cepat dibanding pesaingnya. Karena itu, kalau mau bisnis, buatlah bisnis yang bertujuan untuk memberikan dampak positif kepada banyak orang, jelas Nadia.
Warteg
Peter Shearer mengatakan Wahyoo didirikan untuk untuk membantu keberadaan warung-warung makan tradisional seperti Warung Tegal (Warteg) yang begitu akrab dengan keseharian masyarakat.
Warteg dan sejenisnya harus diakui memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia di sektor mikro.
Peter mengakui tidak mudah mengubah kebiasaan manual dari para pemilik warung tradisional pada budaya digital. Namun dengan prinsip teknologi hadir untuk membantu memudahkan dan mengefisienkan pekerjaan manusia.
Wahyoo saat ini terbukti berhasil merangkul lebih dari 16 ribu warung makan di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Menurut Peter, keberhasilan itu tidak lepas dari keberhasilannya dalam memberikan beberapa manfaat nyata kepada para mitra.
Selain mendatangkan pelanggan lebih banyak secara daring, fitur Wahyoo juga memungkinkan mereka mendapatkan bahan baku hasil pertanian dan sembako berkualitas dari merek mitra Wahyoo yang lain.
Cukup pesan melalui aplikasi Wahyoo, bahan-bahan makanan dan sayuran yang mereka butuhkan sudah diantar sampai di depan warung. Tidak perlu ke pasar tiap pagi, tidak perlu naik motor dan tidak perlu repot tawar-menawar. Aplikasi ini dihadirkan setelah Wahyoo mendapatkan masukan dari pelanggan.
Dan dari sisi bisnis, layanan ini sekarang malah berkembang menjadi salah satu tulang punggung bisnis. Karena itu, jangan segan-segan mengajak ngobrol pelanggan sekedar untuk mencari masukan, kalau jeli kita akan mendapatkan berbagai peluang dari sana, lanjut Peter.
Pada dasarnya, pengusaha memang harus memiliki pola pikir seperti dokter yang melakukan diagnosa untuk mencari tahu apa penyakit/problem yang diderita pasien. Jika problem tersebut berhasil dicarikan solusi, bisa dipastikan ‘pasien’ bersedia membayar berapapun asal masalah mereka teratasi.
Karena itu, pihaknya juga menyediakan fitur yang memudahkan para pemilik warung dalam mengelola keuangan mereka.
Jamak dipahami, salah satu kebocoran bisnis warung makanan segmen kelas bawah seperti Warteg adalah banyaknya konsumen yang berutang.
Untuk mengatasi masalah ini, pihaknya menyediakan fitur yang membantu mengingatkan masa jatuh tempo setiap pengutang.
Peter juga menggarisbawahi program loyalitas adalah salah satu kunci sukses semua usaha termasuk bisnis berbasis sosial (sociopreneurship).
Seorang pengusaha memang harus “tergila-gila” kepada pelanggannya. Sama seperti bisnis konvensional, agar konsumen datang kembali untuk membeli, langkah selanjutnya adalah layanan kepuasan pelanggan.
Untuk mencapai hal itu, alangkah baiknya membuat sebuah program mengikat kesetiaan (loyalty), apakah dengan sistem keanggotaan, poin hadiah, pengembalian uang, dan lain-lain.
Peter mencatat, konsumen Indonesia memiliki karakter khas yaitu suka dilayani dan diperhatikan. Oleh karena itu ia menyarankan agar selain terbuka dengan masukan pelanggan, ingat juga hal-hal sederhana seperti ingat nama mereka.
Walaupun sederhana, hal itu penting karena mereka merasa dihargai. Karena itu kalau perlu pembawaan yang seru dan ramai bisa dijadikan semacam prosedur standar operasi (SOP) karena mudah untuk menarik pelanggan, sarannya.
Terkait persaingan, Peter mengingatkan pemilik bisnis sekelas Starbuck dulu pasti juga punya pertanyaan serupa saat mulai merintis bisnisnya. Karena itu, para pemula bisnis tidak perlu berkecil hati.
Untuk keluar dari dominasi itu, menurutnya, bisnis baru harus mampu menemukan perbedaan dan keunikan produk .
Cari kekuatan, apakah ada di harga, kualitas produk, layanan, apa saja yang bikin unik. Selain itu, juga harus terbuka terhadap masukan dari pelanggan. Tanyakan kepada pelanggan ada masukan apa.
Khusus untuk bisnis kuliner, hal yang paling krusial adalah kualitas makanan. Kalau tidak enak, jangan harapkan bisnis bisa naik. Pastikan makanan benar-benar enak, hingga bikin orang ketagihan.
Patut juga diingat kalau bisnis tidak cukup diawali dengan minat dan keahlian. Sebelum mulai bisnis, seorang pemula mesti sudah mengetahui dulu apakah produknya cocok dengan daerah tersebut serta seberapa besar ceruk pasar yang disasar.
Setelah tahap tersebut, ia juga harus melakukan pemetaan untuk mengetahui pesaing yang sudah bermain di “arena” tersebut.
Banyak yang mulai bisnis tanpa memperhitungkan potensi pasar dan strategi, akhirnya putus di tengah jalan.
Karena itu, selain memastikan ada target yang memang mau mengonsumsi produk yang dimiliki, pastikan juga bahwa pelanggan mau membayar untuk mendapatkannya.(ant)