Bangga Indonesia, Gorontalo – Pakar gizi di Gorontalo Arifasno Napu, Jumat, mengatakan masyarakat sebaiknya tidak menyuguhkan minuman bersoda kepada tamu saat Lebaran.
Menurutnya banyak orang mengeluh perut menjadi kembung dan tidak nyaman, setelah mengonsumsi minuman bersoda.
Keluhan yang timbul tersebut akan semakin berisiko bagi orang yang sedang mengidap penyakit tertentu seperti gangguan pencernaan (gastritis) dan sejenisnya, jantung, diabetes, ginjal, dan syaraf.
Ia menjelaskan, perut kembung akan memicu terjadinya stress dalam tubuh dan dapat menyebabkan erosi/pengikisan pada lambung yang akhirnya menjadi luka.
Dalam kondisi tersebut, orang bisa terserang penyakit typus yang dapat mengancam jiwa.
”Jumlah gula yakni karbohidrat murni pada minuman bersoda cukup tinggi, ada yang melebihi empat sendok makan. Ini juga dapat memicu peningkatan gula darah yang berdampak pada komplikasi akut seperti terjadinya ketoasidosis, infeksi yang berulang, penurunan berat badan,” ujarnya di Gorontalo.
Jika kondisi itu berlangsung lama atau kronis, maka peningkatan gula darah (hiperglikemi) akan menyebabkan gangguan pada organ tertentu seperti ginjal (nefropati diabetik), gangguan mata/penglihatan (retinopati diabetik), gangguan saraf tertentu (neuropati diabetik) termasuk pada alat kelamin, sampai pada keadaan amputasi, penyakit jantung, dan pembuluh darah (penyakit kardiovaskuler).
Ia menyarankan mengganti suguhan minuman bersoda dengan minuman dan makanan yang lebih alami dan sehat seperti buah-buahan.
“Melanjutkan pola hidup sehat yang sudah terbentuk selama Ramadhan juga dapat menjadi solusi memelihara kesehatan,” katanya.
Tips lainnya yakni mengonsumsi gula pasir dalam maksimal empat sendok makan dalam sehari, garam dapur tidak lebih dari satu sendok teh, dan lemak dalam bentuk minyak tidak lebih dari lima sendok makan dalam sehari,” tambahnya.
Ia mengungkapkan, melalui Al Quran maupun Hadits Islam telah mengajarkan untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik.
Namun dari sisi kesehatan, kata dia, belum tentu yang halal itu adalah baik, demikian juga sebaliknya belum tentu yang baik itu adalah halal.
“Intinya yang ideal adalah apabila dikonsumsi manusia tidak memberikan dampak negatif pada tubuh dan juga tidak bertentangan dengan keyakinan kita,” imbuhnya.(ant)