SAUDARAKU. Pada tulisan sebelumnya, telah disinggung bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam. Kitab suci yang memuat aturan main dalam mengatur gerak kehidupan manusia di dunia.
Dengan berpedoman kepada Al-Qur’an, manusia akan selamat dalam hidupnya. Tidak saja di dunia, keselamatan itu bisa direngkuhnya, namun juga di akherat kelak.
Karena itu saudaraku, mempelajari Al-Qur’an bagi umat Nabi Muhammad SAW merupakan keharusan. Setelah tahap membaca, maka giliran berikutnya adalah meningkatkan kualitas mempelajari Al-Qur’an menuju tahap berikutnya, yakni membaca Al-Qur’an disertai memahami makna (isi)-nya.
Kaitannya dengan ini, masyarakat muslim Jawa sudah akrab pendengarannya dengan bunyi tembang Jawa; Tombo ati iku limo sak wernane,..
maca qur’an angen-angen sak maknane,…
(Obat hati itu ada 5 (lima) hal, yakni Membaca Al-Qur’an disertai dengan memahami isi-nya).
Dari pesan tembang Jawa ini, sebenarnya sudah bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa hadirnya Al-Qur’an menjadi obat hati (melahirkan ketenangan dalam hidup) apabila membacanya disertai mengerti arti atau makna-nya.
Mengapa demikian saudaraku?… sebab Al-Qur’an bisa berfungsi sebagai HUDAN (petunjuk) kepada manusia, apabila Kitab Petunjuk itu dimengerti arti (isi)-nya. Namun apabila dibaca saja, dengan lagu yang bagus dan indah, dengan tajwid dan makhroj yang benar, maka ibadah ini hanya akan melahirkan pahala dan ketenangan yang sesaat saja.
Selesai membaca Al-Qur’an, kegalauan dan kegusaran pikiran akibat dari problematika hidup akan kembali muncul ke permukaan. Inipun, kalau masih mau membaca Al-Qur’an di saat galau dan gusar pikirannya. Namun biasanya, dalam keadaan demikian malah lupa dengan Al-Qur’an.
Nah, Al-Qur’an yang dibacanya tidak bisa menghadirkan ketenangan yang permanen, karena hukum-hukum (nilai-nilai) tata kehidupan yang terkandung di ayat-ayat yang dibacanya tidak dipahami atau dimengertinya. Padahal dari sanalah (yakni; moco Qur’an sak maknane), Allah SWT akan mencurahkan petunjuk-petunjuk-Nya kepada siapa saja yang mau mencarinya secara pro-aktif.
Al-Qur’an, surat Al-Maidah (5) ayat 16, menjelaskan dengan gamblang, sebagai berikut;
يَهْدِى بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوٰنَهُ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ إِلَى النُّوْرِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيْهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ .
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Saudaraku. Dalam firman-Nya ini, Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an di hadirkan untuk memberi petunjuk kepada orang yang berkemauan untuk mengharap keselamatan hidup. Dan hidup selamat menjadi isu penting dalam kehidupan dewasa ini.
Pertanyaannya sekarang, apakah untuk bisa mengerti arti atau makna Al-Qur’an itu merupakan pelajaran yang SULIT? Jawabannya; tidak. Al-Qur’an mudah untuk dipelajari. Karena Allah SWT sendiri yang menggaransi (menjamin)-nya.
Seperti pada tulisan yang lalu, telah dikutip ayat Al-Qur’an, surat Al-Qomar (54) ayat: 17, 22, 32, dan 40, yang berbunyi;
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْأَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ .
Walaqod yassarnal qur-ana lidz-dzikri fahal min muddakir
“Dan Sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
Dari ayat di atas dapat diambil sebuah pengertian bahwa kemudahan yang dijaminkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya untuk memahami Al-Qur’an sebagai kitab Petunjuk hanya mensyaratkan satu hal, yaitu kesungguhan (minat) untuk mempelajarinya.
Ayat tersebut tidak mensyaratkan dimilikinya kepinteran. Meskipun pandai, tapi sombong (takabbur), enggan untuk mempelajarinya, maka Allah SWT tidak akan memberikan ilmu-Nya.
Juga, ayat tersebut tidak mensyaratkan, punya modal kapital yang cukup. Meskipun kaya harta, tapi sibuk mengurusi hartanya, enggan untuk belajar, juga karena gengsi dirinya yang tinggi, maka Allah SWT tidak akan pernah memberikan petunjuk kalam-Nya. Satu yang menjadi syarat, yaitu kesungguhan untuk mempelajari Al-Qur’an guna meraih petuntuk-petunjuk-Nya.
Tentu, jaminan kemudahan di dalam mempelajari Al-Qur’an ini disertai bukti bahwa ayat-ayat-Nya yang terangkai dalam satu kitab, terdiri dari 30 juz, 114 surat, memiliki kosa-kata (kalimat) sejumlah ± 77.450 kata. Dari sejumlah itu 79 %-nya merupakan pengulangan kata, sehingga hanya berjumlah ± 16.265 kata saja yang baru.
Misalkan, kosa-kata yang baru itu disebar ke sejumlah 30 juz secara merata, maka akan didapatkan bilangan ± 540 kata baru di setiap juz. Padahal setiap juz rata-rata jumlah kosa-kata mencapai ± 3.600-an. Sehingga sebanyak 3.000-an kata adalah pengulangan kata atau kata yang mudah.
Jadi saudaraku, dengan modal hanya belajar (berlatih) untuk mengenal dan mengerti arti dari 540 kosa kata, maka santri (pelajar) Al-Qur’an Sak Maknane, akan bisa memaknai ayat Al-Qur’an sebanyak satu juz.
Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari satu juz ? Misalkan, dalam setiap berlatih untuk mengenal kosa-kata mengambil sekitar 20 kosa-kata baru, maka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu juz hanyalah 6 sampai 7 bulan, jika belajarnya setiap minggu hanya sekali. Sehingga, satu tahun belajar (berlatih), bisa menghasilkan penguasaan makna ayat sebanyak 2 juz.
Maka, secara praktis hanya butuh waktu 15 tahun saja, umat Nabi Nuhammad SAW dapat menghatamkan Al-Qur’an Angen-angen Sak Maknane (bisa megmbaca Al-Qur’an disertai mengerti artinya).
Saudaraku. Waktu yang relatif sebentar, jika dibandingkan dengan Kuliah Al-Qur’an-nya Nabi Muhammad SAW dengan bimbingan Malaikat Jibril as, yang memakan waktu sekitar 23 tahun. Sejak di utus menjadi Rasul, umur 40 tahun hingga menjelang wafat beliau, dalam usia 63 tahun.
Sepanjang itu, beliau terus mempelajari Al-Qur’an dibawah bimbingan Ruhul Amin, Malaikat Penyampai Wahyu.
Fabiayyi aalaa irobbikuma tukadz-dziban, nikmat yang mana lagi yang kamu dustakan…
Nabi Muhammad SAW adalah contoh (uswah) yang sempurna bagi umatnya. Beliau memulai untuk belajar pada usia yang tidak bisa dikatakan muda, yakni 40 tahun. Kurikulum utamanya adalah Al-Qur’an.
Dosen tunggalnya adalah Malaikat Jibril. Beliau terus belajar (memperoleh wahyu Al-Qur’an) dan mengajar Al-Qur’an hingga usia senja. Tidak berhenti aktifitas tersebut hingga 3 bulan menjelang wafat. Beliau semakin melarutkan diri dengan Al-Qur’an di usia yang semakin bertambah, padahal sebelumnya beliau adalah pedagang sukses dan kaya (tajir).
Ditinggalkannya urusan dunia, berganti dengan mensibukkan diri dalam menerima wahyu (belajar) dan menyampaikannya (mengajar). Itulah pribadi panutan, yang sejatinya patut diikuti jejaknya oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Masihkah kita kelak di alam kubur bisa menjawab pertanyaan Munkar-Nakir, bahwa Imamku adalah Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an yang jelas-jelas hadir di tengah-tengah umat untuk memimpin (dalam memberi arahan hidup) tidak pernah di pakai arahannya, karena tidak pernah tahu materi arahan (petunjuk)-nya?.
Wallahu a’lam bish-showab.
Penulis: Achmad Syaichu Buchori, S.Ag.
• Pengasuh Madrasatul Qur’an Al-Anwar Manyar Sabrangan Surabaya
• Penyusun Kitab Maca Qur’an Sakmaknane “Metode HARFun”
• Wakil Sekretaris IKA UNHASY Tebuireng Jombang
• Ketua Majelis Alumni LPBA Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya