Bangga Indonesia, Surabaya – Saudaraku. Manusia dan jin adalah dua makhluk beda alam. Seandainya mereka bersatu untuk mencelakai kita, maka sedikitpun tidak mampu mencederai kecuali jika Allah menghendaki.
Demikian pula sebaliknya, bersatunya mereka untuk memberikan manfaat kepada kita, tidak akan pernah bisa kecuali jika Allah menetapkan hal itu.
Jadi celaka atau beruntungnya kita semata atas kehendak Allah, bukan karena kehebatan makhluk. Dan makhluk, hanya sebagai sebab perantaraan saja.
Maka, berterima kasih kepada sesama manusia yang telah memberi keberuntungan, berarti sama dengan bersyukur kepada Allah. Dan berlaku sebaliknya.
لايشكر الله من لا يشكر الناس
“La yasykurulloh man la yasykurunnas”. Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.
Saudaraku. Memiliki sikap berterima kasih pada sesama manusia, lebih-lebih yang telah memberi manfaat adalah perbuatan mudah. Meskipun mudah tapi sikap (perbuatan) baik itu tetap perlu dilatih dan dibiasakan, terutama sejak masa kanak-kanak lewat bimbingan orang tuanya.
Saat usia telah dewasa, tetap ada kewajiban untuk berlatih setelah hidayah agama didengarnya. Karena hakekat hidup yang kita jalani ini adalah belajar dan berlatih menuju lebih baik hingga berakhir bi-husnil khotimah.
Sikap positif kedua, saudaraku, yaitu lapang dada dan memaafkan seseorang yang menjadi sebab celakanya kita. Ini aplikasi dari sikap sabar dan ridlo atas ketetapan Allah tanpa perlu memberikan tuntutan apa-apa kepada penyebab terjadinya celaka.
Disertai keyakinan kuat bahwa dibalik celaka (musibah) atau peristiwa yang tidak menyenangkan, terkandung hikmah kebaikan yang akan Allah hadirkan sebagai gantinya.
Inilah sikap pondamen yang mesti harus dilatih oleh umat Rasulullah SAW. ”Bersyukur saat mendapatkan keberuntungan dan bersabar serta ridlo di saat mendapatkan musibah (celaka)”.
Bersyukur dan Bersabar merupakan dua instrumen penting yang harus selalu dilatih. Mengapa dilatih, karena berat, terutama sabar, yakni menahan diri dari keinginan nafsu yang bergejolak.
Tidak bisa sekonyong-sekonyong hadir sikap syukur dan sabar kecuali dengan dilatih dan terus dilatih tanpa henti dan tanpa batas.
Karena dengan dua sikap; syukur dan sabar, menjadikan hidup kita selamat dari penguasaan nafsu lawwamah (syahwatiyyah) dan ammaroh (ghodlobiyyah) yang berkecamuk di dalam hati.
Dengan berlatih terus menerus, maka akan terbentuk yang namanya nafsul muthmainnah. Yaitu, sikap tenang, tidak mudah panik, tentram serta damai dalam menyikapi situasi (atau ritme) hidup yang bergantian. Baru sebulan dapat keberuntungan, eh berganti musibah.
Setelah musibah berlalu muncul keberuntungan baru. Belum seminggu merasakan gembira datang lagi musibah. Belum selesai musibah mendera datang lagi musibah baru. Dan itulah dinamika kehidupan yang pasti akan kita lalui dalam kehidupan di dunia ini. Sampai ajal menjemput.
Karena dunia tempat kita hidup sekarang bukanlah surga yang dijanjikan oleh Allah, kelak di akherat. Disinilah manusia (terutama yang beriman) diuji oleh Allah sebelum benar-benar dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan, full nikmat, bagi penghuninya.
Al-Qur’anul Karim Surat Al-‘Ankabut (29) ayat 2, secara gamblang menjelaskan: Ahasiban naasu an yutrokuu an yaquuluu aamanna wahum laa yuftanuun. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”
Atas dasar itu saudaraku, maka ujian bagi orang beriman adalah sunnatullah. Dan bentuk ujian itu, bisa berupa kesenangan atau sebaliknya. Keberuntungan atau celaka. Kenikmatan atau musibah.
Maka konsep hidup bagi seorang mukmin adalah berjuang. Terus belajar dan berlatih untuk mengelola dan mengendalikan hawa nafsu guna memunculkan nafsu muthmainnah dalam keseharian hidupnya.
Wallahu a’lam bis-showab.
Penulis: Achmad Syaichu Buchori, S.Ag. (Pengasuh Madrasatul Qur’an Al-Anwar Manyar Sabrangan Surabaya dan Penyusun Kitab Maca Qur’an Sakmaknane “Metode HARFun”)