“Kalian menyembahlah kepada Allah, tidak patut bagi kalian menyembah selain-Nya”.
SAUDARAKU. Sejarah para Rasul yang diutus oleh Allah SWT, selalu diawali dengan keadaan dimana masyarakatnya telah mengalami penyimpangan akidah, atau disebut telah berbuat syirik (menyekutukan Allah). Tuhan yang mereka sembah, tidak lagi sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul sebelumnya, yakni Tuhan Yang Maha Pencipta.
Tuhan yang disembah oleh masyarakat telah bergeser, semula menyembah Allah menjadi menyembah tuhan berhala (paganisme), tuhan yang berbentuk benda (materialisme), yang mana tuhan-tuhan tersebut merupakan buatan manusia sendiri; ada kalanya berupa patung yang terbuat dari batu atau bahan lainnya, dan diyakini memiliki kekuatan ghaib (tidak nyata) yang bisa mempengaruhi kehidupan manusia.
Maka, dalam konteks ini saudaraku, peran para Rasul dimulai, yaitu mengajak umat untuk kembali menyembah Tuhan Penguasa Alam, Tuhan yang sebenarnya, yakni Allah SWT. Karena itu, para Rasul selalu memulai risalah-Nya dengan kalimat;
اُعْبُدُوْا اللهَ مَالَكُمْ مِنْ إِلٰهٍ غَيْرُهُ
“Kalian menyembahlah kepada Allah, tidak patut bagi kalian menyembah selain-Nya”.
Saudaraku. Para Rasul tidak saja mengajak untuk menyembah kepada Allah SWT. Namun, seiring dengan pergeseran keyakinan umat, hampir pasti diikuti pula dengan perubahan tata-nilai dalam kehidupan. Perbuatan manusia yang semula berdasarkan garis yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, berganti menjadi perbuatan yang menuruti hawa-nafsu manusia.
Saudaraku. Kita ambil contoh, pada umat Nabi Sholeh as, karena nafsu menginginkan keuntungan yang besar dalam jual-beli, maka mereka akhirnya berlaku curang dalam masalah takaran (untuk liter) atau timbangan (untuk kilogram).
Karenanya, Nabi Sholeh disamping mengajak untuk menyembah kepada Allah SWT, ia juga mengingatkan agar kaumnya berlaku jujur dalam jual-beli. Tidak mengurangi beban timbangan atau isi takaran.
Saudaraku, seperti yang terjadi pula pada umat Nabi Luth AS, karena dorongan nafsu kaum laki-laki senang terhadap sesama laki-laki (homosex). Maka Nabi Luth AS, disamping mengajak untuk menyembah kepada Allah SWT, ia juga mengingatkan agar kaumnya menghentikan perbuatan kotor dan kejinya itu. Bahkan Nabi Luth sendiri telah menawarkan putri-putrinya yang cantik untuk mereka nikahi, namun tawaran tersebut mereka tolak mentah-mentah.
Saudaraku, nafsu manusia memang cenderung menjadi ‘panglima’ untuk mengendalikan hidup manusia di saat manusia mulai melupakan Tuhan (Rabb), atau telah bergeser meyakini tuhan-tuhan yang lain, atau bahkan tidak bertuhan sama sekali (atheis). Syariat (tuntunan) Tuhan yang benar dan lurus akan berganti dengan tuntunan dari syetan yang biasanya serasi (cocok) dengan kecenderungan hawa nafsu manusia.
Bertolak dari sini saudaraku, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menata kembali kehidupan manusia yang sudah rusak secara moral (dekadensi moral) harus dimulai lebih dulu dengan meluruskan kembali aqidah (keyakinan). Keyakinan mana, bahwa tuhan yang patut disembah, tempat menggantungkan hidup hanyalah Allah SWT.
Tidak ada satupun yang berkuasa dan paling menentukan jalan hidup manusia, kecuali hanyalah Allah SWT. Tidak ada kekuatan yang patut ditakuti di alam semesta ini kecuali hanyalah Allah ‘azza wajalla.
Saudaraku, perintah untuk menjauhi orang-orang Musyrik telah jelas. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat : 106
اِتَّبِعْ مَآ أُوْحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ لاۤۤ إِلٰهَ إِلاَّ هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ .
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”
Saudaraku, perintah “berpalinglah (menjauhi) dari orang-orang Musyrik”, mengandung pesan bahwa keberadaan orang-orang Musyrik tidak memberikan dampak positif bagi umat Nabi Muhammad SAW kecuali hanya akan menebarkan ‘virus’ yang akan merusak keyakinan atau akidah dan giliran selanjutnya akan merusak pula sendi-sendi moral (prilaku/perbuatan).
Kalau keyakinan Ketuhanan (ilahiyyah) sudah menyimpang dan tidak lurus (hanif), maka dalam prilaku atau perbuatannya juga cenderung keluar dari garis yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Maka saudaraku, bisa dipastikan, tuntunan syetan yang akan dipakainya sebagai petunjuk kehidupan.
Padahal saudaraku, bagi umat Nabi Muhammad SAW, tuntunan Allah SWT itu terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Hadits-hadits Nabi. Oleh karena itu, di awal ayat tersebut Allah memerintahkan untuk mengikuti tuntunan-Nya; “Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu.”
Saudaraku. dalam konteks sekarang ini, penyebaran ‘virus’ syirik diusahakan secara gencar melalui berbagai cara. Upaya ‘pembalikan aqidah’ oleh Kaum Perusak Keimanan ini jauh lebih berbahaya dari virus apapun, termasuk COVID-19.
Upaya mana, tidak mengajak umat Nabi Muhammad SAW untuk beralih dari menyembah Allah SWT kepada menyembah patung atau berhala. Tetapi, cenderung mengarah kepada merusak pola-pikir (mindset) bahwa ada tuhan selain Allah SWT. Na’udzubillah min dzalik.
Penyebar ‘virus’ syirik tidak begitu mempersoalkan apakah umat Nabi Muhammad SAW itu termasuk rajin mendirikan shalat, gemar berpuasa, rajin menunaikan zakat, atau bahkan berkali-kali melaksanakan haji maupun umroh, tidak menjadi penting bagi mereka.
Justru yang diutamakan adalah di balik ketekunan untuk menjalani ibadah ‘ritual’nya itu dimasukkan ‘virus’ pada pikiran (melalui bawah alam sadar) bahwa ada kekuasaan lain selain Allah yang patut diperhitungkan.
Saudaraku. Bisa kita rasakan misalnya, di bidang hukum (peradilan). Ada ‘virus’ pikiran yang terkadang sudah dilegalkan oleh sebagian yang berperkara, bahwa kekuatan uang (kapital) dapat menentukan arah keputusan dari hakim. Jika ‘virus’ pemikiran ini sudah merasuk ke pikiran seseorang dan melahirkan sebuah keyakinan, maka di sinilah telah terjadi perbuatan syirik (pemikiran).
Akibat selanjutnya bisa ditebak, akan melahirkan perbuatan atau prilaku yang cenderung berani menabrak rambu-rambu agama, yaitu suap-menyuap. Padahal Nabi SAW bersabda: “Ar-roosyi wal murtasyi fin-naar”, artinya; penyuap dan yang disuap di dalam neraka (maksudnya; dimasukkan ke neraka). (Al-Hadits)
Di bidang politik, juga demikian. Ada ‘virus’ pikiran yang sepertinya sudah mewabah dikalangan politisi, baik politisi senior maupun yunior. Bahwa kursi kekuasaan (jabatan) dapat menciptakan kemuliaan pada seseorang, karenanya ia harus direbut dan diusahakan. Untuk mencapai ke sana dibutuhkan kekuatan uang (kapital) yang besar.
Jika ‘virus’ pemikiran ini sudah menancap dengan kuatnya di otak dan melahirkan keyakinan yang mantap, maka inilah kemudian yang melahirkan perbuatan syirik (pemikiran). Akibat berikutnya, orang yang meraih jabatan dengan cara ‘syirik’ ini, pasti tidak akan pernah berkhidmah (melayani) dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan Allah SWT dan masyarakatnya.
Jabatan yang diraihnya, pasti akan dipertahankan dengan menghalalkan segala cara, padahal Allah SWT telah mengharamkannya, seperti; berdusta, mencuri uang rakyat, money-politik (membeli suara), bahkan memalsu identitas pun akan dilakukan agar jabatan tetap langgeng.
Tidak ketinggalan pula, ‘virus’ syirik juga merambah dunia pendidikan. Pada diri anak-anak usia sekolah ‘virus’ syirik itu hadir berupa nilai akhir sekolah (hasil ujian) di masing-masing level (tingkatan). Fenomena yang umum terjadi dewasa ini, disetiap menjelang ujian akhir sekolah, yang mana NILAI UJIAN telah menjadi ‘momok’ yang menakutkan. Seakan masa depan mereka ditentukan nasibnya oleh NILAI (angka).
Maka, jika ‘virus’ pemikiran ini mengakar kuat di benak anak sekolah, bahkan merambah juga kepada orang tuanya, dan menjadi keyakinan yang benar-benar menggeser takutnya kepada Tuhan, disinilah mulai terjadi syirik pemikiran. Akibat selanjutnya, mereka akan berusaha untuk mendapatkan NILAI yang tinggi, meskipun harus dengan kecurangan (tidak jujur), bergiat diri untuk mengikuti berbagai BIMBEL dengan meninggalkan kegiatan NGAJI Al-Qur’an-nya, bahkan ada pula yang datang ke paranormal.
Itulah sebagian ‘virus’ kemusyrikan yang selalu mencari mangsa dari umat Nabi Muhammad SAW.
Dunia peradilan tidak salah dan tidak perlu dihindari, karena ia menjadi sarana bagi umat Nabi untuk mencari keadilan. Juga kekuasaan (politik) tidak selalu jelek, asalkan tidak mencari-cari tetapi dipilih atau ditunjuk berdasarkan kemampuan. Politik bisa menjadi sarana untuk mengubah kemungkaran ‘bil yad’ (dengan kekuasaan).
Demikian pula pendidikan (sekolah) sebagai sarana untuk mencerdaskan generasi bangsa, tidak selamanya salah dengan berbagai kebijakannya, yang memang terkadang tidak ajeg.
Itu semua adalah sarana yang dijadikan oleh Allah SWT untuk melahirkan kebaikan dalam kehidupan manusia, tidak perlu dihindari dan dijauhi. Namun, yang Allah perintahkan kepada kita adalah menjauhi pihak-pihak yang menebarkan ‘virus’ kemusyrikan.
Hadanallah wa iyyakum… Wallahu a’lam bis showab.
Oleh : Achmad Syaichu Buchori, S.Ag.
• Pengasuh Madrasatul Qur’an Al-Anwar Manyar Sabrangan Surabaya
• Instruktur pada Majelis Maca Qur’an Sakmaknane “Metode HARFun” di Yogyakarta, Jombang dan Surabaya
• Wakil Sekretaris IKA UNHASY Tebuireng Jombang
• Ketua Majelis Alumni LPBA Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya